Perangkat
keras komputer
(Inggris: hardware) adalah semua
bagian fisik komputer, dan dibedakan
dengan data yang berada di [dalamnya atau yang beroperasi di dalamnya, dan
dibedakan dengan perangkat lunak (software)
yang menyediakan instruksi untuk perangkat keras dalam menyelesaikan tugasnya.
A.
Perangkat Keras dan Fungsinya
Secara
fisik, Komputer terdiri dari beberapa komponen yang merupakan suatu sistem.
Sistem adalah komponen-komponen yang saling bekerja sama membentuk suatu
kesatuan. Apabila salah satu komponen tidak berfungsi, akan mengakibatkan tidak
berfungsinya suatu komputer dengan baik. Komponen komputer ini termasuk dalam
kategori elemen perangkat keras (hardware). Berdasarkan fungsinya, perangkat
keras komputer dibagi menjadi :
1. input divice (unit masukan)
2. Process device (unit Pemrosesan)
3. Output device (unit keluaran)
4. Backing Storage ( unit penyimpanan)
5. Periferal ( unit tambahan)
komponen
dasar komputer yang terdiri dari input, process, output dan storage. Input
device terdiri dari keyboard dan mouse, Process device adalah microprocessor
(ALU, Internal Communication, Registers dan control section), Output device
terdiri dari monitor dan printer, Storage external memory terdiri dari
harddisk, Floppy drive, CD ROM, Magnetic tape. Storage internal memory terdiri
dari RAM dan ROM. Sedangkan komponen Periferal Device merupakan komponen
tambahan atau sebagai komponen yang belum ada atau tidak ada sebelumnya.
Komponen Periferal ini contohnya : TV Tuner Card, Modem, Capture Card.
1.
Unit Masukan ( Input Device )
Unit ini berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar ke dalam suatu
memori dan processor untuk diolah guna menghasilkan informasi yang diperlukan.
Input devices atau unit masukan yang umumnya digunakan personal computer (PC)
adalah keyboard dan mouse, keyboard dan mouse adalah unit yang menghubungkan
user (pengguna) dengan komputer. Selain itu terdapat joystick, yang biasa
digunakan untuk bermain games atau permainan dengan komputer. Kemudian scanner,
untuk mengambil gambar sebagai gambar digital yang nantinya dapat dimanipulasi.
Touch panel, dengan menggunakan sentuhan jari user dapat melakukan suatu proses
akses file. Microphone, untuk merekam suara ke dalam komputer.
Input device berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar sistem ke
dalam suatu memori dan processor untuk diolah dan menghasilkan informasi yang
diperlukan. Data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer dapat berbentuk
signal input dan maintenance input. Signal input berbentuk data yang dimasukkan
ke dalam sistem komputer, sedangkan maintenance input berbentuk program yang
digunakan untuk mengolah data yang dimasukkan. Jadi Input device selain
digunakan untuk memasukkan data dapat pula digunakan untuk memasukkan program.
Berdasarkan sifatnya, peralatan input dapat digolongkan menjadi dua yaitu :
• Peratalan input langsung, yaitu input yang dimasukkan langsung diproses oleh
alat pemroses. Contohnya : keyboard, mouse, touch screen, light pen, digitizer
graphics tablet, scanner.
• Peralatan input tidak langsung, input yang melalui media tertentu sebelum
suatu input diproses oleh alat pemroses. Contohnya : punched card, disket,
harddisk.
Unit masukan atau peralatan input ini terdiri dari beberapa macam peranti yaitu
:
a.
Keyboard
Keyboard merupakan unit input yang paling penting dalam suatu pengolahan data
dengan komputer. Keyboard dapat berfungsi memasukkan huruf, angka, karakter
khusus serta sebagai media bagi user (pengguna) untuk melakukan
perintah-perintah lainnya yang diperlukan, seperti menyimpan file dan membuka
file. Penciptaan keyboard komputer berasal dari model mesin ketik yang
diciptakan dan dipatentkan oleh Christopher Latham pada tahun 1868, Dan pada
tahun 1887 diproduksi dan dipasarkan oleh perusahan Remington. Keyboard yang
digunakanan sekarang ini adalah jenis QWERTY, pada tahun 1973, keyboard ini
diresmikan sebagai keyboard standar ISO (International Standar Organization).
Jumlah tombol pada keyboard ini berjumlah 104 tuts. Keyboard sekarang yang kita
kenal memiliki beberapa jenis port, yaitu port serial, ps2, usb dan wireless.
Jenis-Jenis
Keyboard :
1.) QWERTY
2.) DVORAK
3.) KLOCKENBERG
Keyboard
yang biasanya dipakai adalah keyboard jenis QWERTY, yang bentuknya ini mirip
seperti tuts pada mesin tik. Keyboard QWERTY memiliki empat bagian yaitu :
1. typewriter key
2. numeric key
3. function key
4. special function key.
1.
Typewriter Key
Tombol ini merupakan tombol utama dalam input. Tombol ini sama dengan tuts pada
mesin tik yang terdiri atas alphabet dan tombol lainnya sebagaimana berikut :
•
Back Space
Tombol ini berfungsi untuk menghapus 1 character di kiri cursor
• Caps Lock
Bila tombol ini ditekan, maka lampu indikator caps lock akan menyala, hal ini
menunjukkan bahwa huruf yang diketik akan menjadi huruf besar atau Kapital,
bila lampu indicator caps lock mati, maka huruf akan menjadi kecil.
• Delete
Tombol ini berfungsi untuk menghapus 1 karakter pada posisi cursor
• Esc
Tombol ini berfungsi untuk membatalkan suatu perintah dari suatu menu.
• End
Tombol ini berfungsi untuk memindahkan cursor ke akhir baris/halaman/lembar
kerja
• Enter
Tombol ini berfungsi untuk berpindah ke baris baru atau untuk melakukan suatu
proses perintah.
• Home
Untuk menuju ke awal baris atau ke sudut kiri atas layar
• Insert
Tombol ini berfungsi untuk menyisipkan character.
• Page Up
Tombol ini berfungsi untuk meggerakan cursor 1 layar ke atas
• Page Down
Tombol ini berfungsi untuk Menggerakkan cursor 1 layar ke bawah
• Tab
Tombol ini berfungsi untuk memindahkan cursor 1 tabulasi ke kanan.
2.
Numeric Key
Tombol ini terletak di sebelah kanan keyboard. tombol ini terdiri atas angka
dan arrow key. Jika lampu indikator num lock menyala maka tombol ini berfungsi
sebagai angka. Jika lampu indikator num lock mati maka tombol ini berfungsi
sebagai arrow key.
3.
Function Key
Tombol ini terletak pada baris paling atas, tombol fungsi ini ini terdiri dari
F1 s/d F12. Fungsi tombol ini berbeda-beda tergantung dari program komputer
yang digunakan.
4.
Special Function Key
Tombol ini terdiri atas tombol Ctrl, Shift, dan Alt. Tombol akan mempunyai
fungsi bila ditekan secara bersamaan dengan tombol lainnya. Misalnya, untuk
memblok menekan bersamaan tombol shift dan arrow key, untuk menggerakan kursor
menekan bersamaan ctrl dan arrow key.
b.
Mouse
Mouse
adalah salah unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah untuk
perpindahan pointer atau kursor secara cepat. Selain itu, dapat sebagai
perintah praktis dan cepat dibanding dengan keyboard. Mouse mulai digunakan
secara maksimal sejak sistem operasi telah berbasiskan GUI (Graphical User
Interface). sinyal-sinyal listrik sebagai input device mouse ini dihasilkan
oleh bola kecil di dalam mouse, sesuai dengan pergeseran atau pergerakannya.
Sebagian besar mouse terdiri dari tiga tombol, umumnya hanya dua tombol yang
digunakan yaitu tombol kiri dan tombol kanan. Saat ini mouse dilengkapi pula
dengan tombol penggulung (scroll), dimana letak tombol ini terletak ditengah.
Istilah penekanan tombol kiri disebut dengan klik (Click) dimana penekanan ini
akan berfungsi bila mouse berada pada objek yang ditunjuk, tetapi bila tidak
berada pada objek yang ditunjuk penekanan ini akan diabaikan. Selain itu
terdapat pula istilah lainnya yang disebut dengan menggeser (drag) yaitu
menekan tombol kiri mouse tanpa melepaskannya dengan sambil digeser. Drag ini
akan mengakibatkan objek akan berpindah atau tersalin ke objek lain dan kemungkinan
lainnya. Penekanan tombol kiri mouse dua kali secara cepat dan teratur disebut
dengan klik ganda (double click) sedangkan menekan tombol kanan mouse satu kali
disebut dengan klik kanan (right click)Mouse terdiri dari beberapa port yaitu
mouse serial, mouse ps/2, usb dan wireless.
c.
Touchpad
Unit masukkan ini biasanya dapat kita temukan pada laptop dan notebook, yaitu
dengan menggunakan sentuhan jari. Biasanya unit ini dapat digunakan sebagai
pengganti mouse. Selain touchpad adalah model unit masukkan yang sejenis yaitu
pointing stick dan trackball.
d.
Light Pen
Light pen adalah pointer elektronik yang digunakan untuk modifikasi dan
men-design gambar dengan screen (monitor). Light pen memiliki sensor yang dapat
mengirimkan sinyal cahaya ke komputer yang kemudian direkam, dimana layar
monitor bekerja dengan merekam enam sinyal elektronik setiap baris per detik.
e.
Joy Stick dan Games Paddle
Alat ini biasa digunakan pada permainan (games) komputer. Joy Stick biasanya
berbentuk tongkat, sedangkan games paddle biasanya berbentuk kotak atau persegi
terbuat dari plastik dilengkapi dengan tombol-tombol yang akan mengatur gerak
suatu objek dalam komputer.
f.
Barcode
Barcode termasuk dalam unit masukan (input device). Fungsi alat ini adalah
untuk membaca suatu kode yang berbentuk kotak-kotak atau garis-garis tebal
vertical yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk angka-angka. Kode-kode ini
biasanya menempel pada produk-produk makanan, minuman, alat elektronik dan
buku. Sekarang ini, setiap kasir di supermarket atau pasar swalayan di
Indonesia untuk mengidentifikasi produk yang dijualnya dengan barcode.
g.
Scanner
Scanner adalah sebuah alat yang dapat berfungsi untuk meng-copy atau menyalin
gambar atau teks yang kemudian disimpan ke dalam memori komputer. Dari memori
komputer selanjutnya, disimpan dalam harddisk ataupun floppy disk. Fungsi
scanner ini mirip seperti mesin fotocopy, perbedaannya adalah mesin fotocopy
hasilnya dapat dilihat pada kertas sedangkan scanner hasilnya dapat ditampilkan
melalui monitor terlebih dahulu sehingga kita dapat melakukan perbaikan atau
modifikasi dan kemudian dapat disimpan kembali baik dalam bentuk file text
maupun file gambar. Selain scanner untuk gambar terdapat pula scan yang biasa
digunakan untuk mendeteksi lembar jawaban komputer. Scanner yang biasa
digunakan untuk melakukan scan lembar jawaban komputer adalah SCAN IR yang
biasa digunakan untuk LJK (Lembar Jawaban Komputer) pada ulangan umum dan Ujian
Nasional. Scan jenis ini terdiri dari lampu sensor yang disebut Optik, yang
dapat mengenali jenis pensil 2B. Scanner yang beredar di pasaran adalah scanner
untuk meng-copy gambar atau photo dan biasanya juga dilengkapi dengan fasilitas
OCR (Optical Character Recognition) untuk mengcopy atau menyalin objek dalam
bentuk teks.
Saat
ini telah dikembangkan scanner dengan teknologi DMR (Digital Mark Reader),
dengan sistem kerja mirip seperti mesin scanner untuk koreksi lembar jawaban
komputer, biodata dan formulir seperti formulir untuk pilihan sekolah. Dengan
DMR lembar jawaban tidak harus dijawab menggunaan pensil 2 B, tapi dapat
menggunakan alat tulis lainnya seperti pulpen dan spidol serta dapat
menggunakan kertas biasa.
h.
Kamera Digital
Perkembangan teknologi telah begitu canggih sehingga komputer mampu menerima
input dari kamera. Kamera ini dinamakan dengan Kamera Digital dengan kualitas
gambar lebih bagus dan lebih baik dibandingkan dengan cara menyalin gambar yang
menggunakan scanner. Ketajaman gambar dari kamera digital ini ditentukan oleh
pixel-nya. Kemudahan dan kepraktisan alat ini sangat membantu banyak kegiatan
dan pekerjaan. Kamera digital tidak memerlukan film sebagaimana kamera biasa.
Gambar yang diambil dengan kamera digital disimpan ke dalam memori kamera
tersebut dalam bentuk file, kemudian dapat dipindahkan atau ditransfer ke
komputer. Kamera digital yang beredar di pasaran saat ini ada berbagai macam
jenis, mulai dari jenis kamera untuk mengambil gambar statis sampai dengan
kamera yang dapat merekan gambar hidup atau bergerak seperti halnya video.
Kebijakan
Negara Di Bidang Kepolisian
Cetak E-mail
Ditulis
Oleh Bambang Widodo Umar
Latar
Belakang Hingga kini masih ada keraguan masyarakat dalam mencermati arah
reformasi kepolisian sejalan dengan bergulirnya isu 'polisi sipil' (baca:
kepolisian). Seperti tidak dipahami isu itu sebagaimana mestinya. Polisi sipil
didikotomikan dengan polisi militer, sehingga proses pemisahan Polri dan TNI
dipandang sebagai wujud akhir pembentukan polisi sipil. Pada hal polisi sipil
merupakan suatu konsep, bukan institusi. Sebagai suatu konsep, polisi sipil
mensyaratkan sejumlah faktor sebagai indikator yang tidak mungkin bisa
ditemukan dalam negara otoriter yang acapkali dipandang sebagai police state.
Polisi sipil atau civilized police jika diterjemahkan secara harfiah adalah
polisi yang beradab, dan itu hanya mungkin dibangun dalam masyarakat yang
demokratis. Karena itulah polisi menjunjung prinsip‑prinsip demokrasi,
seperti hak individu yang sentral, kebebasan (freedom), transparansi,
pertanggungjawaban publik dan lain-lain. Di bawah prinsip demokrasi, polisi
sipil wajib menampilkan hubungan yang bersifat akrab dengan masyarakat melalui
pendekatan kemanusiaan dengan warga (yang dilayaninya) daripada kekuasaan.
Polisi di negara demokratis memegang teguh pelaksanaan misinya menjaga keamanan
dan ketertiban umum juga menegakan hukum sebagai wujud dari pelayanan.
Sedangkan kekuasaan hanya digunakan dalam keadaan terpaksa, dan harus
dilakukan secara proporsional serta
profesional.
Ditinjau
dari riwayat kelahirannya, masyarakat adalah ibu kandung polisi, yang
dibutuhkan karena informal social control dinilai tidak efektif mengatasi
masalah keamanan dan ketertiban umum dalam kehidupan bersama. Menghadapi
kondisi demikian, cikal bakal kepolisian, seperti tithing man, constable, dan
Shire reeve lambat laun mewujud sebagai formal social control agency, dan
kemudian negara memberi kewenangan kepadanya untuk menegakkan hukum bersama
komponen sistem peradilan pidana lainnya. Karena itu sesuai kelahirannya
menunjukkan bahwa polisi diciptakan untuk lebih difokuskan dalam hal mengatasi
masalah sosial (social problems) daripada untuk menegakkan hukum negara. Hal
ini sedikit berbeda dengan lembaga penegak hukum lainnya yang domain tugasnya
lebih bertumpu pada penegakan hukum negara. Karena itu, polisi sipil dan
masyarakat yang demokratis merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa
dipisahkan.
Dalam
praktek karena kewenangan yang bersifat memaksa, lembaga kepolisian tidak
jarang digunakan sebagai alat kekuasaan politik penguasa negara (otoriter),
seperti yang pernah terjadi di Uni Sovyet dan Afrika Selatan, juga Indonesia
beberapa waktu yang silam. Sifat otoriter biasanya ditunjukkan oleh badan
kepolisian yang mengadopsi model kepolisian Continental, di mana kepolisian
diperankan sebagai alat negara (state police), yang berbeda dengan model
Anglosaxon (the public are the police and the police are the public). Negara
Indonesia yang terbawa oleh penjajahan Belanda, hingga kini masih memerankan
Polri sebagai alat negara, sehingga tidak mengherankan dalam pelaksanaan tugas,
polisi yang dijuluki sebagai abdi negara tidak jarang mengutamakan kepentingan
negara (persetambatan politik) daripada kepentingan warga masyarakat
(persetambatan sosial) bahkan cenderung lebih memberikan layanan tugasnya
kepada penguasa. Status Polri yang demikian dalam perkembangan sudah barang
tentu bukan saja tidak sejalan dengan keinginan masyarakat bahkan menghambat
upaya mewujudkan polisi sipil.
Analisis
Sentralisasi
organisasi kepolisian suatu negara merupakan faktor penting yang mempengaruhi
sifat kerjanya dalam membina keamanan dan ketertiban umum serta dalam penegakan
hukum. Kepolisian yang sentralisitk memiliki kesatuan komando (unity of
command) di antara level hirarkhinya, mulai dari tingkat ibukota atau kota
besar hingga desa atau daerah lokal. Tidak ada pembagian siapa yang bertugas
menegakkan hukum nasional dan siapa yang menegakan hukum lokal (daerah). Setiap
kesatuan polisi pada level apapun harus bertindak apabila melihat ada
pelanggaran hukum nasional. Bahkan tidak jarang polisi daerah harus mengabaikan
hukum adat setempat untuk menegakan hukum nasional. Dengan kata lain kepolisian
nasional yang sentralistik bergerak dengan satu gaya, dengan kesamaan sense of
perpose antara pimpinan kepolisian nasional dengan para pimpinan kepolisian
daerah dan para petugas yang ada di bahwahnya.
Berkenaan
dengan status itu dalam konteks masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk,
juga dalam kondisi geografi kepulauan yang sangat luas, sistem sentralisasi
cenderung kontradiktif dengan tujuannya (kepolisian dalam masyarakat
demokratis). Oleh karena itu otoritas pemerintah lokal Âharus dipadukan dengan
sistem desentralisasi, dengan maksud untuk mendekatkan penyelenggaraan
manajemen kepolisian kepada masyarakat yang dilayani (J. E. Hoover dalam
Berkley, 1969 : 21). Desentraliasi polisi ini dimaksudkan untuk mengembangkan
satuan organisasi terdepan (Polres) menjadi lebih otonom dalam kerangka sistem
kepolisian nasional (Reiss, 1972 : 207), dan sejalan pula dengan kebijakan
otonomi daerah. Sejalan dengan prinsip ini, pendekatan penyelesaian perkara
(ringan) dapat dilakukan secara informal dengan pemberdayaan potensi local,
sehingga polisi diharapkan memfokuskan perhatiannya pada kejahatan‑kejahatan
berat yang meresahkan dan menarik perhatian publik.
Bagi
polisi, masyarakat bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan jasa
kepolisian tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab. PertanggungÂjawaban
hukum khususnya atas penggunaan upaya paksa oleh individu polisi maupun
pertanggungjawaban organisatorik kepolisian, tidak meniadakan
pertanggungjawaban publik (public accountability) kepolisian. Akuntabilitas
publik kepolisian menjadi penting mengingat pekerjaan polisi syarat dengan
kewenangan â€Å“diskresi†bahkan menyangkut kehidupan (nyawa) seseorang dan hal
itu sukar dikontrol (low‑visibility) (Walker, 2001 : 8). Konsekwensinya,
akses publik harus dibuka bagi pengawasan terhadap tugas-tugas kepolisian, baik
terhadap segala tindakan kepolisian maupun perumusan kebijakan dan manajemen
kepolisian. Sikap demikian dibutuhkan bukan saja oleh masyarakat dalam
kapasitasnya sebagai obyek tindakan polisi, tetapi karena kepolisian harus mernbangun
kemitraan dengan masyarakat, dari mana mereka membutuhkan dukungan. "The
power and strength of the police lies neither in the military arm nor in the
law. It is almost wholly public approval of their existency and the behaviour,
and without it neither law nor troops coul save them from helplessness"
(Reith, 1940 : 56).
Di
sini pekerjaan polisi memerlukan pengawasan yang ekstra dibanding dengan
institusi lain, karena pada institusi ini melekat selain kewenangan tersebut di
atas juga budaya organisasi yang didasarkan pada solidaritas (solidarity) dan
kerahasiaan (secrecy). Budaya solidaritas dapat mendorong kearah semangat melindungi teman sesama korps
meskipun mereka itu salah. Sedangkan implikasi negatif dari kerahasiaan,
menyebabkan polisi suka menyembunyikan kesalahan yang diketahui telah dilakukan
oleh koleganya (keep silent). Kedua budaya ini bisa menjadi pengahambat utama
jalannya pengawasan internal secara efektif. Sering kita dengar melalui mas
media sidang Dewan Kode Etik Kepolisian hanya menjatuhkan sanksi yang tidak
menyelesaikan persoalan fundamental. Disini perlunya suatu badan independen
untuk mengawasi pelaksanaan tugas kepolisian dan mencari solusi bagi masalah
structural yang dihadapi polisi.
Sejalan
dengan pemikiran desentralisasi satuan‑satuan wilayah kepolisian yang disinggung di atas, hubungan kerjasama antara
Polri dengan pemerintah daerah perlu dikembangkan sedemikianrupa sehingga
pemerintah daerah bisa mendayagunakan PoIri dalam menjalankan perannya untuk
menjaga keamanan dan ketertiban umum (lokal) termasuk mencegah kejahatan.
Sementara itu kebutuhan anggaran PoIri bisa didukung dengan anggaran pendapatan
daerah dibawah pengawasan pemerintah daerah. Sinergi dalam pengelolaan keamanan
dan ketertiban umum menjadi sangat penting mengingat misi kepolisian tidak
berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya
perwujudan kesejahteraan masyarakat. Ini berarti bahwa keberhasilan PoIri dalam
menjalankan misinya menjadi tidak berarti jika tidak memberi kontribusi bagi
upaya peningkatan kesejehteraan menuju masyarakat madani (civil society).
Upaya
pembangunan polisi sipil akan sangat dipengaruhi oleh tradisi militeristik dan
birokratis yang menghambat upaya peningkatan profesionalitas dalam jajaran
Polri. Sistem kepangkatan yang sepenuhnya mengadopsi sistem militer (walau
berganti istilah) harus diubah sehingga lebih mencerminkan peran dalam
pekerjaan kepolisian dan strata penggolongannya harus lebih diorientasikan pada
kepentingan kesejahteraan personel. Hubungan atasan bawahan yang hirarkhis
harus diubah menjadi hubungan kerja sama fungsional. Pengembangan kreativitas
personel termasuk pikiran kritis untuk kemajuan institusi harus merupakan
atmosfir kehidupan dalam dunia kepolisian. Profesionalitas kepolisian tidak mungkin
ditumbuh‑kembangkan dalam suasana kultur yang militeristik dan birokratis
kaku.
Melayani dan melindungi merupakan kata kunci
yang menjadi ciri polisi sipil. Melayani dan melindungi seharusnya bukan
merupakan tugas, tetapi kewajiban setiap individu polisi, bahkan pada setiap
tempat dan disepanjang waktu. Pengabaiannya harus merupakan pelanggaran kode
etik yang dapat dijatuhi sanksi yang lebih berat daripada sekedar tindakan
disiplin. Dengan prinsip ini, pendekatan kasus dalam penanganan permasalahan
kepolisian sejauh mungkin harus diganti dengan pendekatan kemanusian (human
approach). Artinya dalam setiap langkah tindak, polisi harus memberikan respek
manusiawi terhadap kliennya tanpa mengenyamping kepentingan penegakan hukum
terutama terhadap kejahatan menonjol yang meresahkan masyarakat, sesuai motto
universal kepolisian: fight crime, love humanity and help definquen.
Uraian di atas memberikan sebagian gambaran
tentang wujud kepolisian masa depan yang semestinya dibangun. Proses untuk
mewujudkannya bukan tidak mungkin (utopis) tetapi perlu waktu. Tentu dalam hal
ini seperangkat kebijakan dan strategi perlu diletakkan, baik di bidang
operasional maupun pembinaan. Untuk itu fokus perhatian pada tataran manajemen
puncak perlu lebih banyak ditujukan pada upaya melanjutkan dan menuntaskan
reformasi (internal) dari pada mengejar prestasi operasional karena prestasi
operasional merupakan output bahkan outcome dari proses pembinaan internal.
Pembenahan
Dari uraian tersebut langkah‑langkah
perubahan ditujukan pada penataan kembali aspek‑aspek instrumental dan
struktural organisasi sehingga dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi
perubahan kultur menjadi polisi sipil yang mampu meningkatkan upaya deteksi dan
responsif dalam membina keamanan dan ketetertiban umum maupun penegakan hukum.
Beberapa strategi yang perlu dikembangkan mencakup antara lain:
Pertama : Bidang Sumber Daya Manusia,
meliputi peninjauan kembali terhadap sistem rekrutmen, pendidikan/pelatihan dan
pembinaan/pengembangan karier yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan
personel yang dikelola secara transparan, dan bertanggungjawab sesuai prinsip
merit-system. Demikian pula tinjauan terhadap strata sistem kepangkatan.
Kedua: Bidang Pembiayaan, meliputi
pengembangan sistem anggaran/keuangan yang transparan, akuntabel dan rasional
dalam alokasinya anggaran yang disediakan dari
APBN maupun non‑APBN yang diperoleh dari pernerintah daerah.
Ketiga : Bidang Operasional, meliputi masalah
kepemimpinan dan perumusan kebijakan pengendalian diskresi dalam hal penggunaan
upaya paksa, penyederhanaan prosedur penegakan hukum, pembenahan sistem
manajemen penanganan perkara (agar setiap laporan/pengaduan diadministrasikan
dan diproses sesuai prosedur hukum acara. Termasuk pengembangan kerjasama
dengan kepolisian negara lain untuk mencegah kejahatan internasional.
Keempat : Bidang Pengawasan, yang meliputi
pengembanan sistem pengawasan (internal maupun ekaternal) yang menjamin akses
publik dapat lebih efektif mendeteksi dan menindaklanjuti laporan/pengaduan
tentang sikap/tindakan personel Polri yang berkaitan dengan pemberantasan KKN.
Kelima: Bidang Organisasi, menata organisasi
dalam konteks desentrasisasi sehingga menjamin efisiensi penggunaan sumberdaya
dan efektifitas pelaksanaan tugas terutama yang menyangkut penataan
stratifikasi kemampuan dan kewenangan serta pemberian otonomi yang lebih luas
kepada PoIres.
Penutup
Demikian makalah ini disampaikan sebagai
bahan acuan bagi diskusi mengkaji kebijakan Negara di bidang Kepolisian. Diharapkan
dalam diskusi ini bisa menghasilkan pemahaman untuk mampu mencermati perubahan
institusi polisi yang sesuai dengan harapan masyarakat.
Daftar
Bacaan
Bayley,
David H., 1985. Patterns of Policing: A Comparative International Analysis. New
Brunswick N. J. Rutgers University Press.
Berkley,
George E.,1969. The Democratic Policeman. Boston Beacon Press.
Reith,
Charles, 1940. Police Principles and The Problem of War. London .‑ University
Press.
Skolnick,
Jerome H., 1975. Justice Without Trial : Law Enforcement in Democratic Society,
2 nd ed. New York
John
Wiley & Sons.
Walker,
Samuel, 2001. Police Accountability: The Role of Citizen Oversight. Belmont:
Wadsworth, USA.
Armanpasaribu's
Weblog
Armanpasaribu's
Weblog
Cops
Don't Cry
Selayang
Pandang
* armanpasaribu
o Serahkan kepada Tuhan
o Caribian Island..here we comes..
o Security Council authorizes extra
police for UN force in Haiti
o Sekolah itu nikmat pada akhirnya
o DOA JENDERAL DOUGLAS MAC ARTHUR
KEPADA ANAKNYA
Perbandingan
Sistem Kepolisian Ideal di Indonesia
Filed
under: Polisi by armanpasaribu — Tinggalkan komentar
Februari
12, 2009
http://armanpasaribu.wordpress.com/2009/02/12/108/
PERBANDINGAN
SISTEM KEPOLISIAN
SISTEM
KEPOLISIAN IDEAL DI INDONESIA
1.
Pendahuluan
Sistem Kepolisian suatu Negara sangat
dipengaruhi oleh Sistem Politik serta control social yang diterapkan.
Kepolisian Negara RI berdiri semenjak 1 Juli 1946 yang berbentuk Jawatan
tersendiri berdasarkan Penetapan Pemerintah No. 11/S.D Kepolisian beralih
status menjadi Jawatan tersendiri dibawah langsung Perdana Mentri. Ketetapan
Pemerintah tersebut menjadikan kedudukan Polisi setingkat dengan Departemen dan
kedudukan Kepala Kepolisian Negara (KKN) setingkat dengan Menteri. Dengan
Ketetapan itu, Pemerintah mengharapkan Kepolisian dapat berkembang lebih baik
dan merintis hubungan vertical sampai ketingkat kecamatan-kecamatan. Kepolisian
Republik Indonesia sebelumnya telah mengeluarkan Proklamasi Kepolisian untuk
menyatakan sikap setia kepada Proklamasi Bangsa Indonesia 1945.
Saat ini setelah Tap Mpr No.VI/2000
dikeluarkan dan menyatakan bahwa salah satu tuntutan Reformasi dan tantangan
masa depan adalah dilakukannya demokratisasi, maka diperlukan reposisi dan
restrukturisasi ABRI. Bahwa akibat dari penggabungan terjadi kerancuan dan
tumpang tindih peran dan fungsi TNI sebagai kekuatan pertahanan dan Polri
sebagai kekuatan Kamtibmas. Maka Polri adalah alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan. Oleh karena itu Polri kembali dibawah Presiden setelah 32
tahun dibawah Menhankam/Panglima ABRI,Berdasarkan Undang-Undang No 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa (1) Polri
merupakan alat Negara yang berperan dalam pemeliharaan kamtibmas, gakkum, serta
memberikan perlindungan,pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya Kamdagri.
Dalam Bab II Tap MPR No. VII/2000
menyebutkan bahwa: (1) Polri merupakan alat Negara yang berperan dalam
memelihara Kamtibmas,, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat. (2) Dalam menjalankan perannya, Polri wajib memiliki
keahlian dan ketrampilan secara professional. Artinya Polri bukan suatu lembaga
/ badan non departemen tapi di bawah Presiden dan Presiden sebagai Kepala
Negara bukan Kepala Pemerintahan.
2.
Kerangka Berpikir
William Doener dan M.L. Dantzker,
dalam bukunya ” contemporary Police Organization and Management, Issues and
Trends“, menyatakan bahwa “Ketika pengamat membandingkan Sistem Kepolisian
Amerika bagaimana penegakaan hukum dijalankan di lain Negara, satu kunci
perbedaan segera dapat dilihat bahwa Kepolisian Amerika sangat terpisah,
desentralisasi organisasi. Sebagai contoh, banyak Negara mengadopsi satu
organisasi,biro, atau departemen untuk menegakkan hukum secara nasional.”
Pemahaman Konsep Sistem, adalah suatu
kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling
berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu,
untuk mencapai tujuan dari system. ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman,
Matheus, Lempiro). Di dunia ada 3 ( tiga ) kelompok sistem yaitu:
1.
Fragmented System of Policing (
Sistem kepolisian terpisah atau berdiri sendiri) :
Disebut juga system Desentralisasi yang ekstrim atau tanpa system,
dimana adanya kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi Polisi
yang otonom dan dilakukan pembatasan kewenangan Polisi. Sistem ini dianut oleh
Negara-negara yaitu Belgia, Kanada, Belanda, Switzerland, Amerika Serikat.
2.
Centralized System of Policing (
Sistem Kepolisian Terpusat) . Berada langsung dibawah kendali pemerintah.
Negara-negara yang menganut system ini adalah Perancis, Italia, Finlandia,
Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark, Swedia.
3.
Integrated System of Policing ( Sistem
Kepolisian Terpadu), disebut juga system desentralisasi moderat atau kombinasi
atau kompromi, merupakan system control yang dilakukan pemerintah pusat dan
daerah agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi Polisi Nasional serta
efektif, efisien, dan seragam dalam pelayanan. Negara-negara yang menganut hal
ini adalah Jepang, Australia, Brasilia, Inggris dan Indonesia.
3.
Permasalahan
Kedudukan sistem Kepolisian Indonesia
saat ini dapat dikategorikan sebagai Integrated System of policing telah
menjadikan posisi Kepolisian menjadi kekuatan yang bersifat Nasional sebagai
intstitusi namun juga berkapasitas fragmented ( kedaerahan). Apakah sistem yang
sekarang ini merupakan sistem Kepolisian yang tepat untuk diterapkan di Indonesia?
4.
Pembahasan
1.
KOD sebagai penjabaran
Desentralisasi Administratif Polri.
Kepolisian Indonesia bukan
Kepolisian yang total sentralistis. Semenjak 20 tahun yang lalu, Polri
melakukan desentralisaai administrative dengan menetapkan Polres sebagai
Kesatuan Operasional Dasar ( KOD), yaitu kesatuan yang paling dekat berhubungan
dengan masyarakat bertugas sepenuhnya bertanggung jawab atas seluruh tugas
pokok Kepolisian.. Sedangkan Polsek adalah Kesatuan terkecil yang setingkat
dengan Kecamatan / Desa, yang bertugas untuk mengemban seluruh tugas pokok
Kepolisian samapai ke tingkat Desa, terutama untuk melindungi dan melayani
masyarakat. Desentralisasi Administrratif akan memberi lebih banyak otoritas
kekuasaan kepada Polres. Kejahatan sekarang sudah semakin canggih, tidak
mengenal batas wilayah, bahkan Negara ( transnasional crime), Maka ada
kejahatan yang ditangani oleh Polda samapi Mabes Polri secara berjenjang.
Tetapi fungsi utama dari kesatguan atasan adalah memberikan bantuan tekhnis
kepada satuan bawah untuk menerbitkan petunjuk tekhnis dan petunjuk lapangan
karena dalam sistem peradilan pidana kita, sesuai deliknya, tindak pidana hanya
dapat ditangani dengan menyesuaikan tempat kejadian perkaranya ( locus
delicti).
Desentralisasi ini diatur Pasal
10 UU No.2/2002, yang mengatur konsep tentang pendelegasian wewenang Polri yang
menganut pengertain “desentralisasi administrative“. Pasal 10 (1) ini
mengatakan bahwa : “Pimpinan Negara Republik Indonesia di daerah hukum,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat(2), bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugas dan weweang kepolisian secara hierarkhie. Dalam rangka menetapkan
strategi dan kebijakan pembangunan kekuatan untuk meningkatkan kemampuan
operasional satuan kewilayahan agar mampu melaksanakan tugas pokoknya secara
professional, maka Mabes Polri dijadikan pusat pengembangan dan penetapan
kebijakan strategis secara nasional, polda seabagi kesatuan yang memiliki kewenangan
penuh,polres sebagai basis pelayanan masyarakatdan polsek sebagai ujung tombak
operasional yang langsung mengendalikan anggotanya di lapangan sebagai
pengemban diskresi kepolisian.
Terkait dengan otonomi daerah,
strategi pembinaan kekuatan sangat berhubungan erat dengan kemampuan
operasional kewilayahan polda, polres dan polsek yang berada di lapangan untuk
melakukan tindakan kepolisian secara penuh dan jelas. Penggunaan kekuatan ini
sangat tergantung kepada kemampuan professional anggota polri di lapangan.
Ketika hal ini terjadi, dimana sejak otonomi daerah dijalankan, dan Pemda
memiliki kewenangan penuh atas penegakan hukum perda melalui Polisi pamong
prajanya dan dishub untuk penertiban parkir, Polri terbentur dengan perbedaan
pendapat dan paham masalah penegakan hukum perda dengan peraturan nasional (
undang-undang)
Dalam konteks ini, Polri sudah
harus memberikan sedikit dari sekian banyak wewenangnya, kepada para perusahaan
penjual jasa keamanan ( dalam konteks ini adalah perusahaan-perusahaan yang
mampu secara kuantitas dan kualiatas) untuk turut serta menjaga aset-aset yang
ada di wilayah operasional polsek, dengan demikian maka pelaksanaan bidang
oprasional bisa lebih fokus dalam pencapaian program-program mabes polri yang
berkelanjutan misalnya melalui operasi-operasi kepolisian yang bersifat umum
dan khusus. Polres dan Polda sendiri, saat ini sudah dapat melakukan operasi
Kepolisian mandiri kewilayahan sendiri, yaitu jenis operasi kepolisian khusus,
yang dapat dilakukan oleh kekuatan polres atau polda, disesuaikan dengan
tantangan dan kebutuhan dalam hal keamanan dan perkembangan situsi di
wilayahnya masing-masing, misalnya operasi kepolisian mandiri adalah di Polda
Sumatera Selatan melakukan operasi kepolisian yang dilakukan dengan target
sasaran kebakaran hutan baik yang disengaja maupun yang tidak. Hal ini tentunya
disesuaikan dengna karakteristik wilayah sumatera selatan, yang pada musim
kemarau seringkali terjadi kebakaran hutan yang dilakukan oleh masyarakat maupun
perusahaan-perusahaan perkebunan yang mengakibatkan terjadi polusi udara yang
parah sampai merepotkan Negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Selain itu, dapat dilakukan
kerjasama dengan pihak pemerintah daerah setempat, ketika dalam periode
pemilihan umum daerah yang sejak masa pentahapan sudah harus diproses dan
membutuhkan keamanan, maka polda atau polres dapat membantu secara mandiri
ataupun meminta backup bantuan dari kesatuan yang ada di atasnya dalam rangka
terciptanya kondisi keamanan yang stabil dan menjamin agar proses tersebut
berjalan dengan lancara. Namun dalam hal ini, seringkali terbentur oleh masalah
penggunaan kekuatan yang tidak seimbang karena terbatasnya angagran, sehingga
yang terjadi adalah seringkali pihak otonomi daerah di pemda yang mempunyai
kekuasaan dan ingin juga terlibat sebagai calon dalam pemilukada ( incumbent),
melakukan upaya-upaya agar pihaknya diberikan privilege, atau keleluasaan
bergerak dan perlindungan khusus, dimana mereka dapat melakukan praktek-praktek
yang sebenarnya tidak boleh dilakukan atau bahkan melanggar tata tertib
pemilihan umum daerah , namun mereka seringkali menawarkan dan pengamanan yang
cukub besar untuk, sehingga resikonya terjadi ketidak objektifan target
pengamanan pemilukada.
2.
Kinerja Polri di bawah Presiden
Sesuai dengan pengalaman 10
tahun pemisahan dengan ABRI, Polri terus membenahi diri. Sudah sekitar 6 tahun
Polri melakukan tugasnya mereformasi diri, dan kesempatan untuk kembali dibawah
presiden. Sebagai privilege yang luar biasa, kedudukan Kapolri di bawah
Presiden telah menjadikan Polri lebih oprtimal dan maksimal dalam menjalankan
tugasnya. Hal ini disebabkan karena posisi Kapolri yang langsung mengetahui
permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, keamanan dan politik melalui rapat
dalam sidang Kabinet sehingga dapat menyampaikan juga permasalahan Polri yang
ada saat ini.
Secara Politik, Polri bisa
langsung menyampaikan kebutuhan-kebutuhan institusi dalam rangka menjalankan
tugasnya . Dalam hal ini, diperlukan pemimpin yang sangat professional dalam
hal ini Kapolri, yang dapat memisahkan kepentingan, antara kepentingan Negara
maupun kepentingan pribadi. Hal ini menjadi bias, karena apabila hasil dari
demokrasi mejadikan seorang pemimpin Negara yang otoriter / diktator, maka
secara politik, kapolri akan langsung dibawah kendali seorang diktator dan
menjadikan institutional sebagai alat kekuasaan. Hal ini bisa saja terjadi
karena dalam proses politik, untuk hal ini pemilihan presiden, semua hal bisa
terjadi dan tidak ada hal yang tidak mungkin dalam politik.
3.
Pelaksanaan UU No.2 tahun 2002
Dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi Kepolisian, perlu dihata dahulu rumusan tugas pokok, weweang Kepolisian
RI dalam Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
1.
Fungsi Kepolisian
Pasal 2 :” Fungsi Kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat”. Sedangkan Pasal 3: “(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh : a. kepolisian khusus,
b. pegawai negri sipil dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. (2)
Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b, dan
c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum masing-masing.
2.
Tugas pokok Kepolisian
Pasal 13: Tugas Pokok
Kepolisian Negara Rrepublik Indonesia dalam UU No.2 tahun 20002 adalah sebagai
berikut:
1.
Memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat
2.
Menegakkan hukum
3.
Memberikan
perlindungan,pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. “, penjabaran tugas
Kepolisian di jelaskan lagi apada Pasal 14 UU Kepolisian RI.
3.
Kewenangan Kepolisian
Pada Pasal 15 dan 16 UU
Kepolisian RI adalah perincian mengenai tugas dan wewenang Kepolisian RI,
sedangkan Pasal 18 berisi tentang diskresi Kepolisian yang didasarkan kepada
Kode Etik Kepolisian.
Sesuai dengan rumusan fungsi,
tugas pokok, tugas dan weweang Polri sebagaimana diatur dalam UU No2.tahun
2002, maka dapat dikatakan fungsi utama kepolisian meliputi :
1)Pre-emtif
2) Preventif
3)Represif
Fungsi utama itu bersifat universal
dan menjadi ciri khas Kepolisian, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih
mengutamakan Preventif dari pada represif. Adapun perumusan dari fungsi utama
tersebut adalah :
1.
Tugas Pembinaan masyarakat
(Pre-emtif)
Segala usaha dan kegiatan
pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community
Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan
hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing
tersebut. Namun, konsep dari Community Policing itu sendiri saat ini sudah bias
dengan pelaksanaannya di Polres-polres. Sebenarnya seperti yang disebutkan
diatas, dalam mengadakan perbandingan sistem kepolisian Negara luar, selain
harus dilihat dari administrasi pemerintahannya, sistem kepolisian juga terkait
dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada
sesuai karakter dan budaya Indonesia ( Jawa) dengan melakukan sistem keamanan
lingkungan ( siskamling) dalam komunitas-komunitas desa dan kampong, secara
bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya
masing-masing. Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap
saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiata-kegiatan
khusus.
2.
Tugas di bidang Preventif
Segala usaha dan kegiatan
di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, memelihara keselematan orang, benda dan barang termasuk memberikan
perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum.
Dalam melaksanakan tugas ini
diperlukan kemampuan professional tekhnik tersendiri seperti patrolil,
penjagaan pengawalan dan pengaturan.
3.
Tugas di bidang Represif
Di bidang represif
terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2
tahun 2002 memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan represif non
Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu weweang ” diskresi
kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus ringan. KUHAP memberi peran Polri
dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas
legalitasbersama unsure Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat
substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bila terjadi tindak
pidana, penyidik melakukan kegiatan berupa:
1.
Mencari dan menemukan
suatu peristiwa Yang dianggap sebagai tindak pidana;
2.
Menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan;
3.
Mencari serta
mengumpulkan bukti;
4.
Membuat terang tindak
pidana yang terjadi;
5.
Menemukan tersangka
pelaku tindak pidana.
4.
Komisi Kepolisian Nasional (
Kompolnas)
Lembaga Kepolisian Nasional
yang disebut dengan Komisi Kepolisian Nasional berkedudukan di bawah Presiden.
Komisi Kepolisian Nasional dalam Undang-Undang Kepolisian No.2 tahun 2002,
merupakan akomodasi aspirasi masyarakat yang berkembang tentang perlunya
transparansi, pengawasan dan akuntabilitas Kepolisian Negara RI yang dilakukan
oleh suatu lembaga independen. Selain itu diharapkan adanya lembaga yang
objektif dan konsisten memperhatikan kebijakan-kebijakan untuk Presiden
berkenaan dengan tugas pokok Polri.
Menurut UU No.2 tahun 2002 Tugas Kompolnas
adalah :
1.
a) Membantu Presiden dalam
menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia;dan
1.
Memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pengangkatan dan Pemberhentian Kapolri.
2.
Wewenang Kompolnas
sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah :
1.
Mengumpulkan dan
menganalisa datam seabagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan
denganj anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pengembangan Sumber daya
manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sarana dan prasarana
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Memberikan saran dan pertimbangan lain
Kepada Presiden dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang professional dan mandiri;dan
2.
Menerima saran dan
keluhan dari masyarakat mengenai Kinerja Kepolisian dan menyampaikan ke
presiden.
Melihat komposisi tugas dan
wewenang Kompolnas, hal ini menjadi jelas dan kelihatan sekali, bahwa
pengawasan kinerja Kepolisian dengan indikator keluhan masyarakat sudah resmi
dan efisien sebenarnya, namun saat ini Sosialisasi Kompolnas ke daerah-daerah
lain tidak maksimal dan kurang diketahuui keberadaannya oleh masyarakat.
Masyarakat di kabupaten-kabupaten banyak yang belum mengetahui, karena
Kompolnas tidak pernah melakukan sosialisasi dan memberikan keterangan kepada
media massa akan keberadaannya. Justru Lembaga-lembaga lain yang sebenarnya
boleh dikatakan tidak mempunyai landasan hukum uyang kuat untuk menilai Polri
secara objektif seperti lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Survey,
yang sering mempublikasikan hasil temuannya di media massa yang terkadang
diragukan keobjektifitasannya. Untuk itu, sebaiknya dalam proses pengawasan
Polri di masa mendatang, sebaiknya Kompolnas melakukan tugasnya dan berperan
dalam pembuatan opini public yang dipercaya dan diterima oleh hukum dan
masyarakat. Kompolnas harus selalu terdepan dalam memberikan informasi yang
berkaitan dengan Kinerja Polri dan dapat dijadikan tolak ukur atau indikator
keberhasilan pelaksanaan tugas pokok Polri.
5.
Mewakili Pemerintah Indonesia dalam
Organisasi Kepolisian Internasional
Sejak tahun 1950-an berdasarkan
surat Keputusan Perdana Mentri Republik Indonesia No. 245/PM/1954 tanggal 15
oktober 1954, Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan fungsi National
Centraql Bureau ICPO-interpol Indonesia. Hal ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang
No.2 tahun 2002 dalam Bab VII, bantuan, Hubungan dan Kerjasama, Pasal 41 dan
42.
Sebagai wakil Reepublik
Indonesia di Internasional Criminal Police Organization ( ICPO-Interpol), Polri
harus bisa melaksanakan tugas –tugas yang bersifat kerjasama Internasional dan
memiliki anggota – anggota yang mempunyai kemampuan International dan
berkapasitas menangani kejahatan Global.
Untuk itu, Indonesia telah
mengirimkan sejumlah perwira kepolisian untuk melaksanakan tugas-tugas yang
berkaitan dengan kapasitasnya sebagai bagian dari dunia Internasional, yaitu
pengiriman Polisi PBB yang terikat dalam Formed Police Unit ( FPU) yang
mempunyai kemampuan militer dan polisi sipil serta mempunyai kecakapan dalam
hal bahasa Inggris, menembak dan Menyetir dengan kualifikasi PBB dan berbentuk
ikatan kesatuan Batalyon berjumlah 200 personil ke Negara Sudan.
Pasukan ini bukan yang pertama
dalam mengemban tugas Misi Perdamaian dalam Operasi Pemulihan Perdamaian PBB di
luar negri. Selain ke Sudan, jauh sebelumnya Polisi Indonesia juga berperan
dalam misi perdamaian PBB untuk pemulihan perdamaian di Bosnia Herzegovina,
Kamboja, Kongo, dan lain-lain.
6.
Menyelenggarakan Pusat Informasi
Kriminal Nasional
Pusat Informasi Kriminal nasional
samapai saat ini masih merupakan hal yang belum terwujud secara nyata dan
dinikmati oleh masyarakat seluruh Indonesia. Pusat Informasi Kriminal ini
berkaitan untuk menunjang tugas Polri dan memberikan informasi akurat mengenai
regvistrasi kendaraan bermotor, Daftar Pencarian Orang, Data sidik Jari
nasional, dan identifikasi lalu lintas. Dalam Criminal Scientific
Investigation, Pusat informasi harus bisa ini memuat semua bentuk dan jenis
kendaraan, jenis ban, sidik jari setiap orang, no telp, data pribadi, sampai
hal-hal yang kecil sehingga smua informasi benar-benar dapat membantu
pelaksanaan tugas Kepolisian.
Sistem yang dipakai oleh Pusat
Informasi Kepolisian ini harus dilakukan oleh ahlinya dan benar-benar mempunyai
akses yang terbatas. Sebagai sebuah Pusat informasi haruslah ditunjang oleh
berbagai peralatan yang canggih dan dengan tekhnologi Kepolisian terkini, dan
kalau bisa memanfaatkan ilmuwan-ilmuwan dalam dan luar negeri karena untuk menjadi
sebuah lembaga yang kuat harus mempunyai Pusat Data dan Informasi Kepolisian
yang maksimal dan komperhensif, baik secara kulaitas maupun kuantitas.
Polri juga perlu melakukan
kerjasama dengan departemen-departemen lain untuk salingberbagi informasi jadi
tidak ada informasi yang tumpang tindih atau hilang, seperti dengan bea cukai
terkait dengan pencekalan orang dan barang yang diduga hendak melarikan diri
dalam suatu tindak pidana.
5.
Kesimpulan
Kepolisian Indonesia saat ini sudah
hampir mendekati sistem Kepolisian ideal yang diharapkan oleh anggotanya
sendiri maupun masyarakat, kemandirian Polri sudah dilaksanakan dan terpisah
dari ABRI, dan sekarang yang perlu dilakukan Polri adalah melakukan peningkatan
sumber daya manusianya serta melakukan pembenahan secara maksimal.
Program-program yang dilaksanakan dalam tugas kepolisian di kewilayahan sudah
dapat dilihat hasilnya, sementara yang perlu dan wajib dilakukan adalah adanya
penyederhanaan sistem birokrasi untuk pelayanan kepada masyarakat.
Pelayanan Masyarakat melalui langsung
maupun tidak langsung bisa dilakukan dan disederhanakan dengan melakukan
efisensi dan efektifitas yang terkait dengan penggunaan tekhnologi Kepolisian
yang maksimal dan up to date. Pengawasan juga diperlukan dalam rangka menjaga
supaya tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam
praktek-praktek kerja di lapangan.
http://tyocentaury.wordpress.com/2010/02/18/pelaksanaan-tugas-pokok-dan-fungsi-kepolisian-dalam-pantauan-komunitas-pers-di-indonesia/
Kepolisian
adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi.
Demikian dinyatakan dalam Undang-undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal
2). Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
(Pasal 4).
Fungsi
dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tugas
pokok kepolisian yang meliputi: (1) memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat; (2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13).
Dalam
melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14 menyatakan, kepolisian bertugas
untuk: (a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (b) menyelenggarakan
segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas
di jalan; (c) membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan; (d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
(e) memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; (f) melakukan koordinasi,
pengawasan dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai
negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; (g) melakukan penyelidikan
dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana
dan peraturan perundang-undangan lainnya; (h) menyelenggarakan identifikasi
kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi
kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; (i) melindungi keselamatan jiwa
raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban
dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia; (j) melayani kepentingan warga masyarakat untuk
sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; (k)
memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; (l) melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya
Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut kepolisian
berwenang untuk: (a) menerima laporan dan/atau pengaduan; (b) membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum; (c) mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; (d)
mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa; (e) mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan
administratif kepolisian; (f) melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di
tempat kejadian; (h) mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang; (i) mencari keterangan dan barang bukti; (j) menyelenggarakan Pusat
Informasi Kriminal Nasional; (k) mengeluarkan surat izin dan/atau surat
keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan
bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan
instansi lain, serta kegiatan masyarakat; (m) menerima dan menyimpan barang
temuan untuk sementara waktu.
Semua
wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara lain: (a)
memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya; (b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
(c) memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; (d) menerima
pemberitahuan tentang kegiatan politik; (e) memberikan izin dan melakukan
pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam; (f) memberikan izin
operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa
pengamanan; (g) memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian
khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; (h)
melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional; (i) melakukan pengawasan fungsional
kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan
koordinasi instansi terkait; (j) mewakili pemerintah RI dalam organisasi
kepolisian internasional; (k) melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam
lingkup tugas kepolisian.
Dalam
rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain, yaitu:
(a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; (b) melarang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
(f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
(g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian penyidikan; (i) menyerahkan
berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan permintaan secara langsung
kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik
pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri
sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; (l) mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain”
tersebut menyatakan: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b)
selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
(c) harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d)
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; (e) menghormati hak
asasi manusia.
Terkait
dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk kepentingan umum pejabat
kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian negara RI (Ayat 2).
Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
pejabat kepolisian senantiasa bertindak berdasarkan norma agama, kesopanan,
kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia (Ayat 1).
Demikianlah
antara lain cakupan 3 macam tugas pokok dan fungsi kepolisian RI yang
dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36
wewenang untuk melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih
juga diberi “kewenangan lain” (Pasal 15 Ayat 2 poin k) yang masih dalam lingkup
tugas kepolisian. Dalam penjelasan masing-masing pasal ketentuan tersebut
dikatakan “Cukup jelas”.
Menjadi
persoalan buat kita untuk menjawab permasalahan pokok terkait dengan bagaimana
pantauan pers di Indonesia terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
kepolisian tersebut? Makalah singkat ini tidak akan mampu menjawab pelaksanaan
semua rincian tugas pokok kepolisian tersebut mengingat dibutuhkan sebuah
kajian yang komprehensif dan cermat dengan waktu yang relatif memadai. Makalah
ini akan melihat sekilas bagaimana pantauan pers nasional terhadap kinerja kepolisian
RI dalam beberapa waktu belakangan ini. Pantauan pers nasional akan diwakili
oleh beberapa media besar saja semacam harian “Kompas”, majalah “Tempo” dan
harian “Suara Merdeka” sejak bulan September – Desember 2009.
Pengadilan
HAM
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan
tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Langsung
ke: navigasi, cari
Broom
icon.svg
Artikel ini perlu dirapikan agar
memenuhi standar Wikipedia
Merapikan
artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel.
Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Untuk
ikut serta memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi
manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan, dan perasaan aman
kepada perorangan ataupun masyarakat, perlu segera dibentuk suatu Pengadilan
Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat
sesuai dengan ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia.
Pembentukan
Pengadilan Hak Asasi Manusia untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia
yang berat telah diupayakan oleh Pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
yang dinilai tidak memadai, sehingga tidak disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia menjadi undang-undang, dan oleh karena itu Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut perlu dicabut. Berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah
kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hakasasi manusia yang berat.
Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak
asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara
Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pengadilan HAM tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat
kejahatan dilakukan. Berdasarkan UU no. 26 tahun 2000, pelanggaran HAM meliputi
: M
Kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a adalah setiap
perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan
seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: N Membunuh anggota kelompok; N Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; N Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagiannya; N Memaksakan tindakan-tindakan yang
bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; N Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
M Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
berupa: N
Pembunuhan; N Pemusnahan; N Perbudakan; N Pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa; N Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang- wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
N Penyiksaan; N Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara; N
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional; N Penghilangan orang secara paksa N Kejahatan
Apartheid.
Tentang
Pembentukan Pengadilan HAM
Orde
baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak dicatat melakukan
pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang memerintah secara otoriter selama
lebih dari 30 tahun telah melakukan berbagai tindakan pelanggaran HAM karena
perilaku negara dan aparatnya (1999, Haryanto). Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) dalam laporan tahunnya menyatakan bahwa pemerintah perlu
menuntaskan segala bentuk pelanggaran HAM yang pernah terjadi di tanah air
sebagai akibat dari struktur kekuasaan orde baru yang otoriter.
Selanjutnya,
pasca orde baru pelanggaran HAM yang berbentuk aksi kekerasan massa, konflik
antar etnis yang banyak menelan korban jiwa dan pembumihangusan di Timor-timur
pasca jejak pendapat menambah panjang sejarah pelanggaran HAM. Lembaga Studi
dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998
telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam
hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak
tersebut adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari
penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas
dari penghilangan paksa (1998, Kompas).
Berbagai
pelanggaran HAM yang terjadi belum pernah terselesaikan secara tuntas sedangkan
gejala pelanggaran kian bertambah. Penyelesaian kasus Tanjung Priok, DOM Aceh,
Papua dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timur selama pra dan pasca jajak
pendapat belum ada yang terselesaikan. Atas kondisi ini sorotan dunia
internasional terhadap Indonesia sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM
yang terjadi kian menguat terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran
HAM yang terjadi di Timor-timur selama proses jajak pendapat. (selengkapnya...)